inilah blog para orang gila tapi jangan salahkan kami para biologiawan karna sesungguhnya kami utu sehat dan gagah perkasa kuat iman dan jasmanikan anak biologi

Friday, December 18, 2009

sabg sarjana muda

Sang Sarjana


Ade keluar bersama ratusan sarjana yang baru saja diwisuda. Sejenak ia memperhatikan wajah-wajah ceria mereka. Ada yang bercengkerama dengan temannya sambil tersenyum merayakan kelulusan yang tentu dengan perjuangan yang luar biasa. Ada pula yang langsung memburu keluarganya, dan memeluk mereka dengan begitu eratnya, seakan ingin menun- jukan keber- hasilannya.

Semestinya Ade pun demikian, tapi entah mengapa justru ia tidak merayakan kelulusannya sebagai sarjana S-1 dengan tawa seperti mereka. Justru Ade malah bermuram durja. Ada hal yang lebih membuat hatinya digelayuti awan kelam serupa malam.

Ade menatap langit Jakarta, teriknya begitu membakar kulit. Matahari yang sama barangkali tengah membakar dua pasang tangan yang sedang di sawah. Menanam bibit-bibit padi layaknya menanam ribuan harapan. Dua pasang tangan itu barangkali sedang berteduh di bawah saung yang beratapkan jerami, menghilangkan dahaga dengan meminum air teh, dan mengisi perut yang lapar dengan pisang goreng atau singkong rebus.

Dua tangan itulah yang mestinya Ade salami saat ini, seperti teman-temannya mengecup punggung tangan orangtua mereka. Tetapi Ade maklum, tentu ketidakhadiran mereka semata-mata untuk menghemat biaya hidup karena, lima adiknya masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Ade bahkan telah bertekad, untuk ikut membantu membiayai uang sekolah kelima adiknya itu.

Memang, sebagai kakak sulung ia telah bekerja keras untuk menghemat biaya hidup ketika kuliah di Jakarta. Semata-mata agar tidak terlalu membebani kiriman orangtuanya. Segala pekerjaan pun mau tidak mau harus ia lakoni, hingga menyelesaikan skripsi temannya pun ia sanggupi.

Kini, ia telah diwisuda. Keinginannya untuk menjadi seorang sarjana telah terwujud. Namun, sepertinya api yang sejak dulu membakarnya itu tiba-tiba mati. Karena ia tiba di pintu baru kehidupannya. Ia harus masuk, ya masuk ke dunia kerja. Bertahan di Jakarta, dan sebusa mungkin mengirim uang ke desa untuk meringankan beban orangtua.

Tapi, ah... Ade menyeka keringatnya. Saat ini langkahnya mulai bimbang. Modal tak ada. Uang hanya tinggal cukup beberapa hari saja. Jakarta hampir seperti hutan di matanya. Yang kuat, yang bertahan.

Ade mengganti pakaiannya, dan bergegas naik bus ke arah tempat kosnya. Di atas bus itu ia bertemu dengan pengamen. Mukanya bersih. Pakaiannya bahkan terkesan rapi. Suaranya tak begitu mengecewakan.

Ade menatap lekat orang itu, memperhatikan lekuk bibirnya berbicara dengan kata-kata yang baik, dan terkesan sopan. Mungkin pengamen yang tengah memetik senar gitar itu pernah belajar di sekolah, mungkin pula telah lulus kuliah.

Pengamen itu keluar dari bus. Kendaraan berjejal dalam kemacatan. Bus tambah sesak dengan penumpang yang semakin lama semakin banyak, sedang sopir itu terus saja menambah penumpangnya meski sudah kelewat batas. Sopir itu seperti tak peduli pada kenyamanan yang menjadi hak penumpang.

Di Jakarta ini, nyawa seakan begitu murahnya. Untuk uang, sopir bus memasukkan penumpang sebanyak-banyaknya. Bagaimana bila bus yang ditumpanginya ini lantas kecelakaan? Dan anak itu? Ade memejamkan matanya. Karena mungkin ia pun akan melakukan hal yang sama bila menjadi seperti mereka. Tapi, ia tak akan seperti itu. Ade merasa ia adalah seorang sarjana. Ia harus meraih kerja yang selayaknya.

Ade tahu, bapak dan ibunya di desa berharap banyak darinya. Mereka telah banyak mencontohkan pada Ade batapa hidup itu harus bekerja dengan keras. Hanya orang-orang yang bekerja lah yang sukses. Ade sendiri begitu bangga pada kedua orangtuanya itu, meski mereka tak sedikitpun mengecap pendidikan, tetapi mereka begitu bekerja keras, dan peduli pada pendidikan semua anaknya. Bahkan, saat ini tak seorang pun adiknya yang tak sekolah. Ade menyakini, itu semua dilakukan karena mereka ingin membekali kehidupan anak-anaknya dengan ilmu.

"Bila aku mewarisi harta, harta itu akan habis De. Tapi, bila ilmu, ilmu itu akan dibawa sampai mati," terang bapaknya sambil menikmati secangkir kopi.

"Percayalah itu! Kata Pak Haji Paisal menuntut ilmu itu wajib bagi kita. Biarlah bapakmu ini hanya tahu ilmu tani tapi, anaknya harus lebih!" lanjutnya.

"Kamu ingin menjadi apa tadi? Sastrawan?" tanya bapaknya kemudian menanggapi keinginan Ade ketika itu.

"Iya Pak," jawab Ade. Ade memang ingin menjadi sastrawan. Selama ini, Ade begitu terkesan pada puisi-puisi Chairil Anwar, Taufiq Ismail, dan banyak lagi. Menurutnya, puisi mereka menyentuh.

"Kamu bisa nulis apa tadi? Si... si..."

"Puisi Pak."

"Oh, ya, itulah. Teruskan, Bapak mendukungmu. Asal, kamu belajar dengan giat, dan tekun!"

"Iya Pak. Itu pasti!"

Ade pun menjawab kepercayaan itu dengan mengikuti ujian, dan akhirnya diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Rawamangun. Kemahiran menulis Ade pun terus diasah. Semula menulis puisi saja, kemudian berlanjut menulis cerita pendek. Bahkan, kini Ade dapat menulis cerpen, dan puisi sama baiknya, sehingga beberapa karyanya dimuat di majalah atau koran meski tak semuanya mendapatkan uang. Kadang, hal itu cukup membuatnya bahagia, walaupun sebetulnya ia berharap banyak pada honorarium hasil menulisnya itu.

Ade dulu sempat putus asa dan tak ingin menulis lagi karena selama beberapa bulan karya-karyanya tidak sekalipun dimuat. Padahal, ia telah merelakan uang makannya sehingga ia harus makan sekali untuk biaya mengirim karya-karyanya itu. Tapi kemudian akhirnya ia secara tak diduganya memenangkan lomba menulis dan mendapatkan uang cukup banyak. Hal ini kemudian memom-panya lagi untuk menulis.

Tapi ternyata, menjadi penulis tidak mengenakan untuk dijadikan penghasilan tetap. Karena tentu karya-karyanya itu tidak selalu dimuat. Karena itulah, Ade selalu berpikir agar ijazah S-1-nya itu tidak sia-sia.

Ade melihat ibu hamil baru masuk bus. Ibu itu berusaha menerobos himpitan penumpang agar dapat berdiri di tengah bus. Ade tak tega melihat perempuan paruh baya itu terjepit di antara penumpang lain. Tangannya yang satu memegang gantungan di atas bus, satu lagi mengusap perutnya yang telah membesar seperti balon.

Ade mengedarkan pandangannya ke seluruh penumpang bus yang duduk. Tak satu pun yang berniat memberikan kursinya. Ada yang pura-pura tidak tahu dengan membaca koran, ada yang hanya asyik mendengarkan musik dari pengeras suara di telinganya sambil melihat ke luar bus. Tak satu pun yang peduli. Padahal, mereka semua masih muda. Ah, sudah matikah nilai-nilai sosial di Jakarta?

Ade kemudian bangkit dari tempat duduknya, mempersilakan perempuan itu duduk di kursinya. Perempuan itu berkali-kali berterima kasih kepada Ade. Ade membalasnya dengan menganggukan kepala.

Bus masih berjalan merangkak. Waktu terasa begitu lama. Ade berusaha membunuhnya dengan membaca koran yang sedang dipegang penumpang lain. Ade mengeluh, saat membaca berita pemecatan besar-besaran di sebuah perusahaan di Jakarta. Ia pun kemudian membaca berita lain. Seorang pengangguran membunuh keluarga sendiri, dan kemudian bunuh diri karena frustasi. Ade membacanya dengan perasaan begitu miris.

Kemudian Ade kembali menghirup napasnya dalam-dalam. Ia mengedarkan pandangannya. Dan ia melihat sesuatu yang ganjil. Seorang perempuan baru saja memasukan telepon seluler ke dalam tasnya, dan seseorang berusaha menyilet tas itu dan...

"PENCURI...!" Ade berteriak sekeras-kerasnya.

Para penumpang panik. Yang perempuan berusaha mengamankan barang-barangnya. Sementara penumpang lain berusaha mencari-cari di mana pencuri itu berada.

"Itu dia pencurinya!" teriak orang di belakang Ade sambil menunjuk-nunjuk ke arah Ade. Kontan Ade terperanjat kaget. Ia melihat pencuri itu, pencuri itu ikut menunjuk ke arah dirinya.

Penumpang lain berusaha menyergap Ade. Ada yang langsung menghantamnya dengan satu pukulan tepat di pelipisnya hingga Ade merasa pening. Kemudian, sebuah sepakan kaki menghantam perutnya. Ade pun merasa mual. Tapi, kembali pukulan bertubi-tubi. Tak henti. Saat Ade berusaha menjelaskan, seseorang kemudian membuat gigi Ade rontok hingga berdarah-darah. Ade semakin pening.

"Saya bukan pencuri, saya seorang sarjana...," Ade masih berusaha menjelaskan.

Tapi, lagi-lagi sebuah pukulan di mukanya benar-benar membuat Ade tak sadarkan diri.

"Aku juga sarjana," terang lelaki yang memukulnya sambil memasukkan dompet Ade ke dalam saku lelaki itu.

No comments: